Sejak ditemukannya fotografi, manusia semakin mudah menghasilkan imaji yang sebelumnya hanya dapat dilakukan melalui penggambaran dengan tangan.Kemudahan yang didapat dari fotografi selanjutnya dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan visual, seperti untuk keperluan pembuatan potret diri, pemotretan arsitektur, dan pemandangan alam.
Tak bisa dipungkiri bahwa fotografi menjadi salah satu perekam sejarah yang paling nyata dalam menangkap berbagai kejadian besar pada abad ke-21. Dari sebingkai foto, emosi dan semangat yang menggugah mampu dihadirkan. Dari ketidakpedulian menjadi suatu aksi peduli. Dari ketidaktahuan akan informasi hingga menjadi gerakan perubahan untuk perbaikan. Ada suka dan duka, ada kepedihan namun juga kegembiraan. Dalam perkembangannya, jenis fotografi yang paling banyak beredar ialah fotografi jurnalistik. Fotografi jurnalistik adalah media komunikasi yang menggabungkan elemen visual dan verbal. Elemen verbal yang dimaksud ialah caption, yaitu kalimat yang mengiringi sebuah foto atau serangkaian foto untuk menjelaskan isi dan maksudnya. Foto-foto tersebut dibuat untuk kepentingan pemberitaan media massa baik lokal, nasional, maupun internasional. DiIndonesia, fotografi jurnalistik dirintis oleh Mendur dan Umbas bersaudara dengan karya-karya khas revolusi kemerdekaan.
Foto jurnalistik merupakan suatu medium sajian informasi untuk menyampaikan bukti visual atas berbagai peristiwa seluas-luasnya, bahkan hingga ke kerak di balik peristiwa tersebut. Foto jurnalistik akan menuntun fotografer maupun penikmatnya untuk melihat suatu objek atau peristiwa dengan cara berbeda, cara yang tidak biasa dilihatnya. Dalam fotografi popular, fotografi menjadi medium praktik afiliasi pribadi, identitas, dan memori. Seseorang tidak hanya menikmati foto, namun juga sebagai produsen dan subjek foto.
|
Fotografi Jurnalistik |
Salah satu dari sekian banyak kategori dalam fotografi jurnalistik adalah bencana alam. Ketika banyak fotografer menampilkan suasana bencana atau pascabencana dengan klise, dan harfiah, namun tidak halnya dengan Oscar Motuloh. Oscar Motuloh merekam objek-objek ‘sepele’ namun sarat dengan jejak batin manusiawi yang menyentuh. Benturan simbolik ganjil yang dapat membuat orang meneteskan air mata sambil tertawa, atau justru konfigurasi konyol yang menyiratkan parodi getir. Dalam foto-fotonya perihal bencana tsunami Aceh atau Lapindo di Jawa Timur, misalnya, pembenturan tidak lazim antara objek-objek di sana menyeret pada berbagai perenungan dan asosiasi tidak terduga pada pemahaman baru akan realitas.
Karya Oscar Motuloh memang menyeret segala benda dan peristiwa kembali ke arah misteri jiwa, semacam ziarah untuk melacak konstelasi tersembunyi dinamika batin manusia. Seperti halnya dinyatakan Atok Sugiarto dalam Ramelan, bahwa fotografer bukanlah orang yang bekerja serba mekanis seperti mesin fotocopy, melainkan seorang yang sudah seharusnya mampu meneruskan cita rasa estetikanya melalui kamera.
Identitas merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupan seseorang di mana pun dan kapan pun dia berada. Sebuah subjektivitas yang menjadi landasan pertama dalam interaksi sosial. Selain itu, identitas adalah tentang sense of belonging atas persamaan dengan seseorang atau sejumlah orang dan apa yang membedakan seseorang dengan orang lain. Keberadaan identitas adalah untuk menjamin keberadaan diri dengan meminjam kekuatan bersama untuk menghadapi ketidakpastian pada masa depan.
Oscar Motuloh adalah pewarta foto dan kurator fotografi. Saat ini ia menjabat sebagai pimpinan Kantor Berita Foto Antara serta Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara. Ia mengajar di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, dan menjadi dosen terbang di sejumlah perguruan tinggi tanah air. Oscar Motuloh juga ikut mendirikan Pewarta Foto Indonesia, yaitu sebuah organisasi yang membawa kebersamaan bagi pewarta foto Indonesia.
Oscar Motuloh lahir di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1959. Selain seorang wartawan foto yang sudah banyak menghasilkan karya avant garde¸ Oscar Motuloh sudah melanglang ke berbagai bagian dunia, termasuk medan perang. Di samping itu, Oscar Motuloh juga pernah mendapatkan foto eksklusif yang bernilai tinggi. Oscar Motuloh memotret lukisan besar taipan Liem Sioe Liong, kroni utama Presiden Soeharto yang sedang ditoreh-toreh dengan pisau oleh massa yang marah pada peristiwa Mei 1998.
Kekhasan cara penyampaian Oscar Motuloh inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian atas ide yang digunakannya dalam menciptakan foto yang ‘tak lazim’ dilakoni oleh fotografer jurnalistik lain. Selain hal tersebut di atas, minimnya kesadaran fotografer, khususnya akademisi, untuk mengkaji karya foto memberikan tantangan tersendiri bagi penulis untuk menghadirkan suatu kajian karya foto sebagai penambah khasanah ilmu fotografi, khususnya dalam ranah akademisi.
Penelitian ini akan meninjau foto-foto karya Oscar Motuloh yang terdapat dalam bukunya, yakni Soulscape Road yang merupakan salah satu media publikasi Oscar Motuloh atas karya-karyanya perihal bencana di beberapa daerah di Indonesia.
Pengertian judul skripsi secara keseluruhan adalah meneliti dan menelaah apa saja yang melatarbelakangi dan pemanfaatan alat yang digunakan sehingga terciptanya karya-karya Oscar Motuloh dalam buku Soulscape Road. Adapun genre yang digunakan dalam pengkajian ini adalah ranah jurnalistik.
Maksud aspek ideasional adalah bagaimana seorang fotografer menyikapi fenomena alam dengan menemukan ‘sesuatu’ dan mengungkapkannya dalam berbagai bentuk konsep, teori, dan wacana.
Aspek ideasional ini juga merupakan pengimplementasian media fotografi sebagai wahana berkreasi dan menunjukkan ide serta jati diri seorang fotografer.
Keinginan untuk menunjukkan jati diri dan ide pribadi seorang fotografer tercermin dalam konsep dan pendekatan estetis yang dipilihnya.
Adapun aspek teknikal adalah hal-hal yang berkaitan dengan teknikal peralatan maupun yang bersifat teknik praksis-implementatif dalam menggunakan peralatan yang ada untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.