Kaum Muktazilah adalah kaum yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis, dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.
Bagi kaum Muktazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Maka berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib pula. Maka disimpulkan bahwa dari ke empat masalah pokok itu diketahui oleh akal. Akal juga mempunyai fungsi dan tugas moral, yaitu petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya.
Berbeda dengan Muktazilah, bahwa dari aliran Asy’ariah menolak sebagian besar pendapat Muktazilah.Karena dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk adalah wajib bagi manusia. Benar bahwa akal dapat mengetahuiTuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya. Dan dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepadaNya akan mendapat hukuman. Dari kutipan diatas disimpulakan bahwa akal tak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan. Dan menurut kalangan Maturidiyah, bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada Tuhan. Sedang kewajiban berbuat baik dan menjahui yang buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Dalam hubungan ini Abu al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan, dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan orang sedemikian akan mendapat hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnya, juga dapat diketahui denga perantaraan akal dan dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik, umpamanya bersikap lurus dan adil, dan wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan bersikap zalim.
Diantara pemimpin-pemimpin Muktazilah yaitu al-Nazzam berpendapat serupa dengan Abu Al-Huzail, begitu juga al-Jubbai. Golongan al-Murdar bahkan melebihi pemikiran di atas. Yaitu bahwa dalam kewajiban mengetahui Tuhan termasuk kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan, sungguhpun wahyu belum ada. Dan orang yang tidak mengetahui hal itu dan tidak berterima kasih kepada Tuhan, akan mendapat hukuman kekal dalam neraka.
Dan menurut al-Syahrastani, sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution, kaum Muktazilah berpendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk dapat diketahui oleh akal. Maka sebelum mengetahui bahwa sesuatu hal adalah wajib, orang harus lebih dahulu mengetahui hakekat itu sendiri. Jelasnya bahwa, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, orang harus terlebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Berikut ini adalah gambarnya.
Dari diagram di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa jawaban atas persoalan akal dan wahyu, menurut kaum Muktazilah semuanya bisa diselesaikan dengan akal manusia.
Jika diadakan perbandingan antara aliran-aliran teologi, akan dijumpai dua aliran memberi daya kuat kepada akal, aliran Muktazilah dan Maturidiah Samarkand dan dua aliran yang memandang akal manusia lemah, aliran Maturidiah Bukhara dan Asy’ariah. Dan jika diperinci lagi Muktazilah memberi angka 4 kepadaakal, Maturidiah Samarkand angka 3, Maturidiah Bukhara memberi angka2 dan Asy’ariah memberi angka1.
Bahwa dalam memperoleh pengetahuan mengenai persoalan-persoalan teologi, yaitu mengetahui Tuhan, berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengetahui yang baik dan jahat. Dalam aliran Muktazilah mereka lebih menggunakan akalnya, yaitu keempat persoalan di atas dapat diketahui lewat akalnya. Sedangkan Maturidiah Samarkand dalam menyelesaikan persoalan itu lewat akal dan hanya satu yang lewat wahyu yaitu tentang kewajiban mengetahui baikdan jahat. Dan Maturidiah Bukhara mengetahui Tuhan dan Mengetahui baik dan jahat itu lewat akalnya, sedangkan kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui baik dan jahat lewat wahyu. Dan yang terakhir yaitu Asy’ariah memberi kedudukan tinggi pada wahyu dan akal hanya dapat mengetahui Tuhan saja.
Akal dalam pendapat Mu’tazilah dapat mengetahui hanya garis-garis besar dari ke-empat masalah di atas. Bahwa akal hanya dapat mengetahui kewajiban-kewajiban secara umum, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti, maupun mengenai hidup manusia di dunia sekarang. Wahyu datang untuk menjelaskan perincian dari garis-garis besar itu. Umpamanya akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui cara dan perinciannya.Wahyulah yang menjelaskan cara dan perincian kewajiban tersebut yaitu dalam bentuk salat lima kali sehari, zakat setahun sekali, puasa sebulan setahun dan haji sekali seumur hidup.