Mekanisme corporate governance merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan control, pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme Corporate Governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi.
Mekanisme corporate governance dibagi menjadi dua kelompok. Pertama berupa internal mechanism (mekanisme internal). Kedua, external mechanism(mekanisme eksternal). Internal mechanism adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), komposisi dewan komisaris, komposisi dewan direksi dan penemuan dengan board og directors. Sedangkan external mechanism adalah cara mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal perusahaan seperti pengendalian oleh perusahaan dan pengendalian oleh pasar.
Secara umum ada dua struktur kepengurusan perusahaan yang one-tier-system (unitary board system)dan two-tier-system. Pada one-tier-system para pimpinan dan direksi perusahaan bertemu hanya dalam satu dewan. Sedangkan pada two-tier-system yang terdiri dari dewan pengawas perusahaan (di Indonesia dikenal sebagai dewan komisaris) serta direksi yang mempunyai tugas,fungsi, dan wewenang pengelolaan perusahaan terpisah dari dewan pengawas perusahaan. Perbedaan kedua sistem tersebut mempengaruhi cara kerja direksi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Struktur kepengurusan perusahaan diindonesia menganut two-tier-system.
|
Good Corporate Governance |
a. Kepemilikan Manajerial
Teori keagenan (agency theory) memunculkan argumentasi terhadap adanya konflik antara pemilik yaitu pemegang saham dengan para manajer. Konflik tersebut muncul sebagai akibat perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Jensen dan Meckling (1976) dalam Noor Laila (2011) menyatakan bahwa: …kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untukmemonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka insentif kemungkinan terjadinya perilaku opportunistik manajer akan meningkat.
Menurut Downes dan Goodman (1999) dalam Rika Susanti (2010), kepemilikan manajerial adalah …para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan. Dalam teori keagenan ini di jelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham mungkin bertentangan. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah biaya perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan penurunan deviden yang akan diterima.
Iskander dan Chamlou dalan Putri Wulan Siswi: Salah satu elemen corporate governance yang penting adalah transparansi atau keterbukaan. Keterbukaan tidak mudah dilakukan apabila manajemen memiliki kepentingan dan informasi privat yang mendukung kepentingan. Kondisi seperti ini dapat terjadi jika dalam perusahaan terhadap manajemen yang memiliki andil sebagai pemilik (managerial ownership).Dengan meningkatkan kepemilikan pemegang saham oleh manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan para principal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Putri Wulan Siswi (2012) menyatakan bahwa: …untuk meminimalkan konflik keagenan adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial dalam perusahaan. Ross et al (1999) dalam Noor Laila (2011) menyatakan bahwa: …dengan kepemilikan manajerial dalam perusahaan, maka manajemen akan cenderung berusaha berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan kepentingannya sendiri.Sensitivitas manajemen terhadap pengaruh para pemegang saham akan tergantung yang tidak meningkatkan nilai perusahaan dan bisa jadi memiliki lebih banyak kecenderungan untuk menerapkan kebijakan akuntansi konservatisme untuk meningkatkan kualitas laba.pada tingkat kontrol kepemilikan manajerial. Manajemen dengan kontrol kepemilikan yang besar memiliki insentif yang lebih rendah untuk melakukan self-serving behvior yang tidak meningkatkan nilai perusahaan dan bisa jadi memiliki lebih banyak kecenderungan untuk menerapkan kebijakan akuntansi konservatisme untuk meningkatkan kualitas laba.
b. Kepemilikan Institusional
Muh Arief Ujiyantho dan Bambang Agus Pramuka (2007) dalam Indri Wahyu Purwandari. Kepemilikan institusional adalah: …jumlah persentase hak suara yang dimiliki oleh institusi.
Jensen dan Meckling dalam Noor Laila (2011), menyatakan bahwa: …kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Kepemilikan institusional akan mendorong pemilik untuk melakukan peminjaman kepada manajemen sehingga manajemen terdorong untuk meningkatkan kinerjanya, selanjutnya nilai perusahaan akan meningkat (sujoko dan Ugy Soebiantoro, 2007).
Kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Dengan demikian proporsi kepemilikan institusional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen.
Sifat agency problem secara langsung berhubungan dengan struktur kepemilikan. Struktur kepemilikan yang tersebut tidak akan memberikan insentif kepada pemilik untuk memonitor pengelolaan manajemen. Hal ini disebabkan karena para pemilik menanggung sendiri biaya pengawasan (monitoring cost ) sehingga semua pemilik akan menikmati manfaat. Investor institusi mempunyai peranan dalam menyediakan mekanisme yang dapat dipercaya terhadap penyajian informasi kepada investor. Peranan ini disebabkan investor institusi yang sophisticated dan mempunyai daya pengendali yang lebih baik dibanding investor individu. Melalui kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat aktualisasi sesuai dengan kepentingan pihak manajemen.
Cornet et al dalam Putri Wulan Siswi (2012) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku opportunistic.
c. Komisaris Independen
Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan memiliki peran terhadap aktivitas pengawasan. Dewan komisaris juga bertanggung jawab atas kualitas laporan yang disajikan. Menurut Egon Zehnder (2000:12) dalam Herawaty (2008) yang dikutip oleh Putri Wulan Siswi (2012): …dewan komisaris (merupakan inti dari corporate governance) yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas.
Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum pasal 1 ayat 4, komisaris independen adalah: …dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan dewan komisaris lainnya, direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.Secara teori dan praktik, tugas utama dari dewan komisaris adalah melakukan pengawasan terhadap manajemen untuk memastikan bahwa mereka melakukan segala aktivitas dengan kemampuan terbaiknya bagi kepentingan perseroan, serta menggagalkan keputusan yang tidak menguntungkan.
Bentuk dewan komisaris tergantung pada sistem hubungan yang dianut. Terdapat dua sistem yang berbeda, yaitu Anglo Saxon dan continental Eropa (FCGI, 2001). Dalam sistem hukum Anglo Saxon, sistem yang dianut adalah sistem satu tingkat atau one tier system pada sistem satu tingkat, perusahaan mempunyai satu dewan direksi yang merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu (non-direktur eksekutif). Sistem hukum Kontinental Eropa menganut sistem dua tingkat atau two tier system. Pada sistem dua tingkat, perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan sesuai dengan dan pengawasan dewan komisaris.
Terdapat tiga elemen penting yang akan mempengaruhi tingkat efektivitas dewan komisaris yaitu independensi, kompetensi, dan komitmen. Praktik corporate governance mengharuskan adanya komisaris independen dalam perusahaan yang diharapkan mampu mendorong dan menciptakan iklim yang lebih independen, objektif, dan menempatkan kesetaraan sebagai prinsip utama dalam memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya. Menurut peraturan pencatatan no. I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek bersifat Ekuitas di Bursa, jumlah komisaris independen minimal 30% dari keseluruhan dewan komisaris.
Dalam rangka penerapan good corporate governance, perusahaan wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya proposional dan sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali. Beberapa kriteria yang paling tidak harus dimiliki oleh komisaris independen, yaitu:
a. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali (mayoritas).
b. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan direktur dan atau komisaris lainnya pada perusahaan yang bersangkutan.
c. Tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan yang bersangkutan.
d. Tidak menduduki jabatan eksekutif pada perusahaan dan perusahaan lainnya yang terafiliasi dalam jangka waktu tiga tahun terakhir.
e. Tidak menjadi partner atau principal di perusahaan konsultan yang memberikan jasa pelayanan professional pada perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan afiliasinya.
f. Tidak menjadi pemasok dan pelanggan signifikan dari perusahaan yang bersangkutan atau perusahaan afiliasinya.
g. Tidak memiliki hubungan yang mengikat dengan perusahaan yang bersangkutan atau perusahaan afiliasinya, kecuali hanya sebagai komisaris independen.
Di Indonesia saat ini, keberadaan komisaris independen sudah diatur dalam code of corporate governance. Setidaknya 20% dari anggota komisaris harus merupakan komisaris independen dalam rangka meningkatkan efektivitas dan transparansi atas pertimbangan-pertimbangan komisaris. Komisaris independen harus independen dari direksi dan pemegang saham pengendali dan tidak mempunyai kepentingan yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjalankan kewajiban secara adil atas nama perusahaan.