Wahyu berasal dari kata al-wahy dan al-wahy adalah berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu diartikan juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.al-Wahyselanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.
Menurut Harun, Pemakaian akal dalam islam diperintahkan oleh Al-Qur’an, seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kawniahyang mendorong manusia untuk meneliti alam sekitarnya dan memperkembang ilmu pengetahuan. Dan pemakaian akal yang ada dalam dirinya inilah yang membuat manusia menjadi khalifah di bumi. karena menurut para ulama islam adalah agama rasional. Perlu ditegaskan bahwa pemakaian kata-kata rasional, rasionalisme, dan rasionalis dalam islam harus dilepaskan dari arti kata sebenarnya, yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan tak mengindahkan wahyu, sehinga wahyu dibatalkan oleh akal. Dalam pemikiran islam menurut Harun akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap diangap mutlak benar. Akal hanya dipakai untuk memahami teks wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderunan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnyabukanlah akal dengan wahyu, yaitu penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi yang dipertentangkan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama laintentang penafsiran wahyu, dengan kata lain ijtihat ulama dengan ijtihat ulama lain.
Pemakaian akal dalam Islam memang tidaklah diberi kebebasan mutlak sehingga pemikir Islam dapat melanggar garis-garis yang telah ditentukan Al-Qur’an serta hadis, tetapi tidak pula diikat dengan ketat, sehingga pemikiran dalam Islam tidak dapat berkembang. Pemikiran dalam Islam hanya dibatasioleh teks yang qat’iy al-wuruddanqat’iy al-dalalah, absolut benar datangnya dari Allah dan jelas lagi absolut artinya. Teks serupa ini sedikit jumlahnya. Kedua hal inilah yang membuat pemikiran dapat berkembang dalam Islam dan dalam perkembangan itu tidak keluar dari ajaran-ajaran dasar Islam.
Ulama-ulama Islam baik dalam bidang fikih, teologi dan falsafah membahagi manusia dalam dua golongan besar, awamdan khawas atau terpelajar. Penafsira nas wahyu bagi kedua golongan ini berbeda, bagi orang awam banyak berarti lafzi sedang bagi terpelajar banyak berarti metaforis. Perbedaan inilah yang antara lain menimbulkan perbedaan faham yang pernah meruncing dalam sejarah Islam.walaupun berbeda tapi keduanya tidak keluar dari Al-Qur’an dan hadis.
|
Wahyu Al-Quran |
Dalam bukunya “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya” ia ingin memperlihatkan sifat keluasan Islam. Islam “bukanlah hanya ibadah, fiqh, tauhid, tafsir, hadis dan akhlaq. Islam lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah, peradaban, falsafah, mistisisme, teologi, hukum politik dan lain-lain. Menurutnya, Islam terbagi atas “ajaran” dan “non-ajaran”. “non-ajaran” meliputi “hasil dari perkembangan Islam dalam sejarah”, seperti kebudayaan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Yang “ajaran” meliputi, “ajaran dasar”. Seperti yang terdapat dalam Al-qur’an dan hadis. Dan “ajaran bukan dasar” berupapenafsiran dan interpretasi ulama-ulama dan ahli-ahli Islam terdapat ajaran-ajaran dasar itu. Timbullah aliran dan mazhab dalam teologi. Islam padahakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Harun berpendapat bahwa penafsiran dan pemikiran itu bersifat tidak mutlak. Oleh sebab itu katanya para imam besar tidak salah menyalahkan sesamanya. Semua dipandang masih dalam kebenaran, selama ia tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam sebagai tersebut dalam al-qur’an dan hadis. Dalam rangka ini Harun menunjukkan kepada penolakan Ibn Rusyd terhadap Al-Qhozali yang mengkafirkan kaum filosof. Ia juga mengemukakan bahwa penolakan kaum Syariah atas ajaran tasawuf bertolak pada penafsiran.
Karena mennurutnya penafsiran itu terikat pada zamannya. Oleh sebab itu jika perubahan muncul, yang hendak diubah adalah ajaran-ajaran bukan dasar, agar sesuai dengan tuntutan zaman. Taqlid pun berarti taqlid pada ajaran bukan dasar, maka perlu ditinggalkan dan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis. Menurut Harun Nasution ajaran dasar dalam hokum sedikit sekali jumlahnya, itupun tidak bersifat qath’Itegas, melaikan zhanni tidak tegas, maka bisa dirubah. Harun Nasution lebih terbuka dalam membahastentang hal-hal yang semacam itu. Harun berpendapat bahwa berpangkal pada soal ajaran dan non-ajaran, keluasan manusia untuk membentuk hukum terbuka lebar. Maka kembalilah persoalan pada kemampuan manusia itu sendiri, pada usaha berfikir, akal.
Maka Harun Nasution pun dalam hal ini menekankan pada free-will,kemauan dan kemampuan manusia muslim yang memungkinkan ia berlomba dengan siapapun juga dalam mencapai kemajuan. Harun Nasution memegang prinsip bahwa perlunya mempergunakan akal, namun tidak mempertentangkannya dengan wahyu. Bagi mereka akal mempunyai batas dan perlu batasan, yaitu perlunya wahyu.Arab dari Al-qur’an.
Jika membahas mengenai soal akal dan wahyu, yang menjadi pegangan bagi ulama-ulama adalah teks wahyu dalam bahasa arab dan bukan terjemah aatau penafsiran. Dan yang diperbandingkan adalah pendapat akal dengan teks Harun Nasution jika menguraikan masalah seperti yang dilakukan para ahli barat, sehingga ada yang menyebutnya sebagai kaum orientalis. Lepas dari masalah di atas Harun Nasution membagi ajaran Islam dalam ajaran dan non-ajaran, dan ajaran dibagi lagi atashal yang mendasar dan tafsiran, jelas bukan berasal dari para orientalis. Ia terbit dari keyakinan pula, dan Harun sangat menekankan akal dalam setiap tindakannya.
Hanya saja, dengan keahliannya dalam sejarah pemikiran Islan, Harun Nasution tidak bisa lepas dari pemikiran yang lalu. Ia lebih menempatkan Muhammad Abduh pada pemikiran Mu’tazilah sebagai orang Mu’tazilah, baginya Abduh “mempunyai persamaan dengan system dan pendapat-pendapat teologi Mu’tazilah, tetapi juga“di atas posisi Mu’tazilah” dan lebih modern dari pada Mu’tazilah. Ini tergantung pada batasan yang digunakan serta pandangan yang dibandingkan.
Harun Nasution dalam buku Akal dan wahyu dalam Islam, menjelaskan bahwa wahyu berasal dari kata al-wahy, kata ini berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.
Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan suara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan ini mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surat Al-Syura (42) : 51 menjelaskan:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Jadi ada tiga cara, pertama melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, kedua dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa. Dan ketiga memalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat. Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat Al-Qur’an. Dalam surat Al-Syu’ara (26): 192-195:
“Dan Sesungguhnya Al Quran Ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam,Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, Dengan bahasa Arab yang jelas”
Ayat di atas dengan jelas menggambarkan bahwa firman Tuhan sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui jibril sebagai utusan Tuhan, jadi bukan melalui ilham ataupun dari belakang tabir. Sebagai yang telah digambarkan di atas dalam konsep wahyu terkandung pengetian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat materi.
Sedangkan teks Al-Qur’an adalah orisinil dari Nabi dan adalah wahyu yang beliau terima dari Tuhan melalui Jibril dalam bentuk kata-kata yang didengar dan dihafal, dan bukan dalam bentuk pengetahuan yang dirasakan dalam hati atau yang dialami dan dilihat dalam mimpi.