Apabila kita konsekuen akan prinsip dari Pasal 250 KUHPerdata, maka anak yang lahir satu hari sesudah perkawinan dilangsungkan, adalah anak sah dan anak dari suami si perempuan yang melahirkan anak tersebut. Prinsipnya memang benar demikian akan tetapi, pembuat undang-undang telah memberikan perkecualian terhadap hal tersebut. Pembuat undang-undang dalam peristiwa-peristiwa tertentu, memberikan kesempatan kepada si suami dari perempuan yang melahirkan anak, untuk mengikari keabsahan anak yang bersangkutan. Misalnya diketahui bahwa anak yang dilahirkan dalam waktu yang sangat singkat setelah perkawinan berlangsung, tentunya sudah dibenihkan pada saat si istri belum berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya. Walaupun tidak mengabaikan adanya perkecualian, di mana laki-laki yang membenihkan anak tersebut adalah memang orang yang kemudian menjadi suami dari perempuan yang melahirkan anak itu.
Tentunya untuk menentukannya diperlukan patokan, apakah seorang anak itu patut diduga telah dibenihkan oleh suami si perempuan yang melahirkan atau tidak. Undang-undang dalam hal ini memberikan melalui Pasal 251 KUHPerdata. Caranya dengan memperhitungkan melalui pengalaman dalam bidang kedokteran an biologis, berapa lamakah minimum seorang anak harus ada dalam kandungan ibunya, untuk dapat dilahirkan hidup. Pembuat undang-undang dalam hal ini memberikan patokan 180 hari. Hal itu berarti, bahwa kalau hubungan antara suami-istri dilakukan pada hari perkawinan, maka anak baru bisa lahir hidup, kalau ia, paling tidak dilahirkan pada hari ke-179 sesudah perkawinan. Kalau ada anak lahir sebelum 179 hari, dan hidup, maka pembuat undang-undang membuat persangkaan bahwa anak itu dibenihkan sebelum si perempuan yang melahirkan-menikah. Hal sebaliknya berlaku, di mana bahwa anak yang lahir sesudah hari yang ke-179 setelah perkawinan, adalah anak yang dibenihkan oleh suami si perempuan yang melahirkan anak tersebut dan tidak dapat disangkal atau diingkari keabsahannya sebagai anak dari suami perempuan yang melahirkan.
|
Anak Bayi menangis |
Terkait dengan adanya kenyataan bahwa sesudah perkawinan, ternyata ada anak yang lahir dari perkawinan tersebut, di mana si suami merasa tidak pernah membuahi sebelum adanya perkawinan, maka dalam hal undang-undang emberikan kewenangan kepada suami untuk rnempergunakan haknya, yakni mengingkarinya. Artinya si suami tersebut boleh untuk tidak mengakui anak itu sebagai anaknya (pengingkaran adalah suatu kebolehan bukan keharusan). Pada asasnya, untuk pengingkaran berdasarkan Pasal 251 KUHPerdata, tidak dituntut syarat lain, kecuali dibuktikan anak itu lahir sebelum 180 hari sejak perkawinan.
Berkaitan dengan pengingkaran ini, terdapat pembatasan yang diberikan oleh undang-undang, yang dengan tujuan agar suami dalam mempergunakan haknya tidak semena-mena. Pengingkaran yang dimaksudkan juga dalam perumusan Pasal 251 KUHPerdata. Di mana tidak boleh dilakukan pengingkaran oleh suami jika ternyata sebelum menikah, calon suami telah mengetahui, bahwa calon istrinya sedang mengandung, yang dalam hal ini memberikan dugaan bahwa dengan tetap menikahi calon istrinya tersebut, sudah semestinya memang ia sendiri yang membuahinya. Pembatasan yang kedua, suami yang mengetahui
kelahiran anak tersebut, yang telah melaporkan atau turut melaporkan kelahiran anak yang dilahirkan oleh istrinya, dan turut menandatangani akta yang bersangkutan. Dengan tindakan yang demikian, nyata bahwa yang bersangkutan sadar melaporkan kelahiran seorang anak, yang adalah anaknya. Apabila suami tersebut menyangsikan keabsahan anaknya, semestinya ia akan menolak untuk menandatangani atau bahkan tidak hadir, bukan malah datang melaporkan kelahiran anak tersebut, apalagi turut menanda tangani aktanya.
Pembatasan ketiga, yakni dalam hal anak itu dilahirkan dalam keadaan mati, tidak ada keperluan untuk mengingkari keabsahan, karena tidak membawa pengaruh hukum apa-apa terhadap suami-istri yang bersangkutan. Pengingkaran yang lainadalah suami dapat mengingkari dengan alasan yang ada dalam perumusan Pasal 252 KUHPerdata. Pasal 252 KUHPerdata tersebut merupakan dasar/alasan yang diberikan bahwa adanya ketidak mungkinan yang nyata/yang bersifat alamiah, untuk mengadakan hubungan suami-istri, sehingga alasan ketidak mungkinan yang bersifat moril, seperti adanya hubugan yang tidak serasi, tidak bisa dipakai sebagai dasar. Ketidak mungkinan yang dimaksudkan adalah ketidak mungkinan nyata atau secara alamiah untuk mengadakan hubungan suami istri atas dasar perpisahan, yaitu harus diartikan sebagai perpisahan tempat tinggal suami dan istri selama seluruh masa kehamilan yang sedemikian rupa, sehingga atas dasar jarak kedua tempat tersebut atau atas dasar tidak adanya kebebasan untuk bergerak dari salah satu dari kedua suami-istri itu saja, sudah tidak mungkin ada hubungan suami istri.
Berdasarkan Pasal 253 KUHPerdata,
suami dapat melakukan pengingkaran terhadap keabsahan dari seorang anak yang dilahirkan istrinya. Seorang suami boleh saja mengingkari keabsahan seorang anak yang dilahirkan oleh istrinya, atas dasar zinah, kalau anak itu kelahirannya disembunyikan dari pengetahuannya. Dalam hal ini adanya zinah saja yang dilakukan oleh seorang istri tidak cukup untuk menjadi dasar bagi sang suami, untuk mengingkari keabsahan anak, yang dilahirkan oleh istrinya tersebut. Dengan demikian, untuk mengingkari anak tersebut, menjadi kewajiban bagi si suami untuk membuktikan adanya kedua peristiwa/faktor tersebut, yakni adanya zinah dan penyembunyian kelahiran anak. Undang-undang dalam hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 253 KUHPerdata. memberikan hak untuk mengingkari ini berlaku baik pada waktu perkawinan masih utuh maupun sudah putus/bubar.
Ketentuan pengingkaran juga diberikan oleh undang-undang terhadap pihak suami, yakni dalam Pasal 254 KUHPerdata. Pengingkaran dapat dilakukan oleh suami, terhadap istrinya apabila seorang anak lahir setelah lewat 300 hari setelah keputusan perpisahan meja dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak. Berbeda dengan ketentuan pengingkaran yang sebelumnya dalam hal ini suami tidak perlu membuktikan bahwa istrinya telah berzinah, ia cukup hanya membuktikan bahwa anak itu lahir lebih dari 300 hari setelah ketetapan pisah meja dan ranjang mempunyai kekuatan mutlak, sebaliknya istri mendapatkan beban pembuktian. Kalau anak itu berhasil diingkari keabsahannya, maka anak itu kedudukannya adalah tetap sebagai anak yang tidak sah, sekalipun nantinya kedua suami -istri itu rujuk kembali (Pasal 254 Ayat (2) KUHPerdata).
Demikian beberapa peraturan perundangan mengenai
pengingkaran keabsahan anak, semoga apa yang telah saya tulis ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian yang telah berkunjung ke blog saya ini.