Perceraian merupakan kulminasi dari suatu penyelesaian perkawinan yang buruk, Ini terjadi apabila suami isteri sudah tidak mampu mencari cara penyelesaian masalah yang tepat dan dapat memuaskan kedua belah pihak antara suami dan isteri. Walaupun banyak perkawinan yang tidak memberikan kebahagiaan, namun ada beberapa yang diakhiri dengan suatu perceraian karena didasari dengan pertimbangan agama, moral, kondisi ekonomi, dan alasan lainnya. Bahkan ada juga yang tidak melakukan perceraian tetapi salah satu pihak (suami atau isteri) diam-diam meninggalkan keluarga tanpa pamit.
Dalam masalah pembagian tanggung jawab dan perubahan konsep diri, jika terjadi perceraian maka tanggung jawab perawatan anak akan menambah masalah dalam penyesuaian diri terhadap kehidupan yang baru, tanpa mengesampingkan siapa yang menimbulkan masalah baru sampai perceraian terjadi, baik suami atau isteri akan merasa bersalah karena mereka membiarkan perkawinan itu putus, sehingga menimbulkan rasa membenci.
Kadangkala, pertimbangan perceraian dipilih sebagai salah satu jalan bagi orang tua untuk dapat terus menjalani kehidupan yang sesuai mereka inginkan masing-masing. Namun apapun pertimbangannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak tetap tinggal dalam keluarga dengan kehidupan perkawinan yang buruk.
Tidak ada pasangan yang ketika kehidupan perkawinan mereka berniat untuk cerai nantinya, akan tetapi adakalanya perceraian terpaksa dilakukan oleh suami isteri walaupun itu merupakan pilihan yang amat pahit. Bagi mereka mungkin akan lega karena telah berpisah dari pasangan masing-masing. Namun sedih dan sakitnya jika seorang anak kecil melihat kedua orang tuanya telah berpisah, mereka yang selama ini hidup bersama-sama tiba-tiba dilihatnya tidak bersama lagi, mereka melihat perceraian sebagai tanda kematian keutuhan keluarga.
Sering terjadi kasus perebutan hak mengasuh anak pasca perceraian oleh kedua orang tua, masing-masing dari mereka merasa lebih berhak, layak dan mampu mengasuh anak tersebut. Keinginan mengasuh anak tentu merupakan hal yang sangat positif, hal ini menunjukkan rasa kasih sayang terhadap anak-anaknya, tetapi kalau tidak diatur akan menimbulkan dampak yang kurang baik pada anak.
Oleh karena itu masalah hak asuh anak pasca perceraian mendapatkan perhatian dari agama Islam. Dalam hukum keluarga pada kitab-kitab fiqih, pemeliharaan anak ini disebut hadanah. Tujuan pengaturan tentang hadanah tersebut lebih dikhususkan untuk melindungi kepentingan anak dan menjamin terwujudnya hak-hak anak.
|
Anak |
Dalam Deklarasi Mukaddimah PBB dijelaskan mengenai hak-hak anak dalam 10 asas sebagai berikut:
1.Hak untuk memperoleh perlindungan khusus
2.Memperoleh kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat
3.Memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir
4.Mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup
5.Memperoleh perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan
6.Memperoleh pendidikan
7.Memperoleh perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat
8.Tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih dan rasa sayang dan rasa aman sedapat mungkin di bawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri
9. Dalam hal terjadi kecelakaan / malapetaka, mereka termasuk yang pertama memperoleh perlindungan terhadap segala bentuk yang menyia-nyiakan anak
10.Memperoleh perlindungan dari kekejaman dan penindasan serta perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi.
Dari uraian di atas penulis ingin membahas salah satu diantara hak-hak anak tersebut yaitu masalah pemeliharaan anak atau dalam Islam disebut juga dengan hadanah. Pembahasan tersebut dikaitkan dengan keberadaan kelembagaan kuasa asuh yang diatur dalam Pasal 30, 31, dan 32 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Islam hadanah diartikan sebagai hak untuk memelihara anak kecil. Anak berhak mendapatkan asuhan dari seorang ibu atau ayah, akan tetapi banyak anak-anak di jalanan yang kurang kasih sayang dan kurang mendapatkan hak asuhnya. Hak asuhan itu hak yang patut diterima anak, karena dia memang masih memerlukan orang yang sanggup memelihara, membimbing, dan mendidiknya dengan baik. Menurut hukum Islam ibulah satu-satunya manusia yang sanggup membentuk kepribadian anak itu hingga dewasa. Oleh karena itu ibulah yang secara hukum punya kewajiban memelihara putra putrinya karena ayah untuk melakukan itu tentu tak akan sanggup.
Kewajiban orang tua kepada anak adalah mendidik, mengasuh, dan mengawinkan. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 26 ayat 1 menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi.
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Dari ketentuan poin (a) di atas disebutkan kewajiban orang tua adalah mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anaknya. Apabila orang tua melalaikan kewajibannya, maka pengawasan atau kuasa asuh terhadap orang tua tersebut dapat dicabut. Dan pengalihan tersebut dapat dialihkan pada selain ayah dan atau ibunya.
Menurut Imamiyah (Maliki, Hanafi, Hambali, Syafi’i, Ja’far) yang berhak untuk mengasuh anak adalah ibu dan ayah. Kalau ayah meninggal atau menjadi gila sesudah asuhan diserahkan kepadanya, sedangkan ibu masih hidup, maka asuhan diserahkan kepada ibu. Ibu adalah orang yang paling berhak mengasuh anak dibandingkan dengan seluruh kerabat, termasuk kakek dari pihak ayah, bahkan andaikata dia kawin lagi dengan laki-laki lain. Kalau kedua orang tuanya meninggal dunia, maka asuhan beralih ke tangan kakek daripada pihak ayah. Kalau kakek dari pihak ayah meninggal tanpa menunjuk seorang penerima wasiat (yang ditunjuk untuk mengasuh), maka asuhan beralih pada kerabat-kerabat si anak berdasar urutan waris. Kerabat yang lebih dekat menjadi penghalang bagi kerabat yang lebih jauh.