Pertanggung jawaban pidana lebih menekankan kepada orang yang melakukan perbuatan pidana. Jika seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana dan telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana yang telah ditentukan dalam undang-undang maka pelaku wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dalam hukum pidana, hanya orang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan pidana. Menurut Simons sebagaimana dikutip Tri Andrisman bahwa.
“Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychish sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dalam sudut umum maupun dari orangnya. Seorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertantangan dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.”
Kemampuan bertanggungjawab didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwa (geestelijke vergomens) dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berpikir (vansranselijke vergomens). KUHP tidak memberikan rumusan yang jelas tentang pertanggungjawaban pidana, namun ada satu pasal yang menunjukkan kearah pertanggungjawaban pidana. Pasal tersebut adalah Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gerbrekkinge onwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelike storing), tidak dipidana.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP tersebut dapat ditarik makna bahwa seseorang dapat dihukum apabila seseorang pelaku dihinggapi :
1. Jiwanya cacat dalam tubuhnya
Jiwa cacat dalam tubuhnya menunjukkan pada keadaan bahwa keadaan bahwa jiwanya dalam tubuhnya terhambat atau terlambat. Hal ini terdapat misalnya pada orang yang sudah dewasa, akan tetapi pertumbuhan jiwanya masih seperti anak-anak.
2. Terganggunya karena penyakit
Terganggu karena penyakit dapat dikatakan bahwa pada mulanya keadaan jiwanya sehat, akan tetapi kemudian dihinggapi oleh suatu penyakit.
Menurut Adami Chazawi dalam KUHP tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggungjawab. Sementara itu, kapan seseorang dianggap mampu bertanggungjawab, dapat diartikan kebalikannya, yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 44 KUHP tersebut.
Untuk menentukan seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dapat dipergunakan secara diskriptif normatif. Psikiater melukiskan dan menganalisis keadaan jiwa seseorang pelaku, penyakitnya serta akibat penyakitnya, sedangkan tugas hakim memberi penilaian keadaan jiwa seseorang pelaku tersebut kemudian menghubungkan hakikat yang terdapat di dalam undang-undang. Hakim tidak terkait dengan pendapat psikiater karena hakimlah yang melaksanakan ketentuan undang-undang, sehingga keputusan terakhir berada pada hakim.
Keadaan penyakit jiwa seseorang haruslah dibuktikan bahwa tingkat penyakit jiwanya tersebut memang mempengaruhi perbuatan tersebut. Penyakit jiwa sendiri mempunyai tingkatan-tingkatan, ada yang ringan, sedang maupun betul-betul dihinggapi penyakit jiwa yang berat. Keadaan jiwa yang dikategorikan tidak mampu bertanggungjawab yaitu:
a. Keadaan jiwa yang cacat pertumbuhannya, misalnya : gila (idiot), imbisil. Jadi merupakan cacat biologis. Dalam hal ini termasuk juga orang gagu, tuli, dan buta, apabila hal itu mempengaruhi keadaan jiwanya.
b. Keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit ada pada mereka yang disebutpsychose, yaitu orang normal yang mempunyai penyakit jiwa yang sewaktu-waktu bisa timbul, hingga membuat ia tidak menyadari apa yang dilakukannya.