Definisi Anak Luar Kawin - Selain pengaturan tentang anak sah, maka dalam Undang-Undang Perkawinan dan KUHPerdata, diatur pula mengenai anak tidak sah. Untuk anak tidak sah seringkali juga dipakai istilah anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam doktrin dibedakan antara anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin (juga disebut anak luar kawin dalam arti sempit). Pembagian tersebut dilakukan karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan yang ada memberikan akibat yang berbeda-beda atas status anak tersebut di atas. Pembagian anak tidaksah dalam 3 (tiga) kelompok tersebut, adalah sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 283 KUHPerdata, dan khususnya penyebutan”anak luar kawin" untuk kelompok yang ketiga adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin, dalam arti bukan anak sah, tetapi jika membandingkan Pasal 280 KUHPerdata dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin (menurut Pasal 280 KUHPerdata) di satu pihak, dengan anak zina dan anak sumbang (Pasal 283) di lain pihak, adalah berbeda. Demikian pula antara anak zina dan anak sumbangpun memiliki perbedaan, yaitu dalam ketentuan Pasal 283KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, kita tahu bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalam keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka, yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikah (Pasal 30 Ayat (2) KUHPerdata), dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian ini tidak dapat diberikan untuk anak zina. Dalam KUHPPerdata, melalui Pasal 280 tampak jelas bahwa antara anak luar kawin dengan ayah (biologisnya) maupun ibunya pada asasnya tidak ada hubungan hukum. Hubungan hukum itu baru ada, kalau ayah dan/atau ibunya memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya.
Hal tersebut di atas, berbeda dengan pengaturan di dalam Undang-Undang Perkawinan, yang disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kesemuanya ini tentu didasarkan atas pikiran, bahwa adalah mudah sekali untuk menetapkan siapa ibu dari seorang anak, yaitu tidak lain adalah perempuan yang melahirkan anak tersebut.
Sehubungan dengan pengaturan anak luar kawin ini, yang belum kunjung jelas pengaturannya, walaupun pemerintah sudah merumuskan dalam Pasal 43 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang selanjutnya pengaturan tentang anak luar kawin ini akan dibentuk Peraturan Pemerintah untuk mengaturnya, akan tetapi sampai sekarang belum ada Peraturan Pemerintah tersebut. Peraturan Pemerintah berkaitan dengan perkawinan yang saat ini digunakan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, akan tetapi tidak menyinggung sama sekali tentang status anak luar kawin. Perlu dirujuk kepada ketentuan yang diamanatkan MK kepada semua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia pada masa itu, di mana sesuai dengan petunjuk MA melalui surat Nomor: MA./Pem/0807/75 tertanggal 20 Agustus 1975 juga menyatakan, bahwa mengenai”kedudukan anak" masih berlaku ketentuan lama. Sub keempat Petunjuk MA tersebut mengatakan bahwa:
….harta-benda dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak serta perwalian, ternyata tidak diatur dalam PP tersebut karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama.
Pada perkembangannya surat petunjuk tersebut, berkaitan dengan kewenangan dan hukum acara Pengadilan Agama dalam petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung 20 Agustus 1975 Nomor MA/Pemb/0807/1975 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pengaturan tentang anak sah, yang walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang, sangat berbeda dengan ketentuan anak luar kawin. Pasal 43 Ayat (1) disebutkan bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya. Perumusan Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa anak tersebut demi hukum mempunyai hubungan hukum dengan orang tuanya. Kata”demi hukum" di sini dimaksudkan, bahwa hubungan hukum dengan orang tuanya terjadi secara otomatis, dengan sendirinya tanpa yang bersangkutan harus berbuat apa-apa. Berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KUHPerdata sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk memiliki hubungan secara perdata, si ibu yang melahirkan anak tersebut perlu untuk melakukan pengakuan terhadap anaknya tersebut. Perlu ditegaskan kembali perumusan dalam undang-undang adalah merupakan penafsiran hukum, karena bagi dalam kehidupan sehari-hari, semua anak adalah sah bagi/terhadap ibunya.
Melihat prinsip seperti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara orang tua dengan anaknya yang sah, didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya, tetapi jika dihubungkan dengan anak luar kawin, maka hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan. Dengan demikian, hubungan darah dalam arti yuridis; bukan dalam arti biologis, seperti yang disebutkan dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, maka pengakuan anak luar kawin tidak perlu dan tidak dapat dilakukan lagi oleh ibunya, karena hubungan hukum antara anak dan ibunya terjadi demi hukum. Dari konsep tersebut pula dapatlah ditarik hubungan karena tidak memiliki hubungan darah secara yuridis tersebut, anak-anak luar kawin tidak lagi mendapatkan haknya secara penuh dari ayah biologisnya. Hal ini didasarkan karena, di satu sisi dia tidak memiliki ayah secara hukum, kecuali dengan adanya pengakuan dan pengesahan. Di lain sisi, pemenuhan haknya hanya dilakukan oleh ibu, yang melahirkannya, sesuai dengan rumusan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, di mana hubungan mereka terjadi demi hukum. Hal ini sebenarnya membawa kerugian, tidak hanya bagi si ibu, tetapi juga berdampak bagi si anak, baik itu secara Psikologis, ekonomi, maupun sosial.
|
Ilustrasi 'Anak Luar Kawin' |
Tegasnya, adanya pembedaan antara anak sah dan anak luar kawin, membawa konsekuensi yang lebih lanjut dalam hukum. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum ternyata adalah inferior (lebih jelek/rendah) dibandingkan dengan anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 299 KUHPerdata), sedangkan anak luar kawin berada di bawah perwalian (Pasal 306 KUHPerdata, yang dalam Undang-Undang Perkawinan dilakukan oleh ibunya). Hak bagian anak sah dalam pewarisan orang tuanya, lebih besar daripada anak luar kawin (Pasal 863 KUHPerdata) dan hak anak luar kawin untuk menikmati warisan melalui surat wasiat, dibatasi (Pasal 908 KUHPerdata).
Pencatatan identitas anak luar kawin di dalam Akta Kelahirannya, bagi anak luar kawin yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum negara dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan, Pasal 2 Ayat (2) maka Kantor Catatan Sipil akan mengeluarkan Akta Kelahiran, yang isinya hanya mengenai:
(a) nama si anak;
(b) tanggal, bulan dan tahun kelahiran si anak;
(c) urutan kelahiran;
(d) nama ibu dan tanggal kelahiran ibu.
Isi Akta Kelahiran tersebut tidak mencantumkan nama ayah dari si anak luar kawin. Nama ayah baru akan tertera dalam Aktar Kelahiran si anak berupa Catatan Pinggir pada Akta Kelahiran si anak, yaitu apabila:
1. Sang ayah mengakui si anak luar kawin, sesuai dengan ketentuan Pasal 280 dan Pasal 281 KUHPerdata.
2. Sang ayah dan sang ibu kemudian mendaftarkan/mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil, sesuai dengan ketentuan Pasal 272 dan Pasal 277 KUHPerdata.
3. Sang istri (Warga Negara Indonesia) mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri untuk memohon pengesahan perkawinan dengan sang suami (WNI) yang telah meninggal dunia, memohon pengesahan atas anak (anak-anak) yang telah dilahirkan, serta memohon agar Pengadilan Negeri memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan /mendaftarkan perkawinan tersebut dan memberi catatan pinggir pada Akta Kelahiran anak sebagai anak sah dari sang ibu dan sang ayah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 275 KUHPerdata.
Berhubungan dengan kedudukan anak luar kawin ini, maka perlu disinggung sedikit tentang pengaturan tentang anak luar kawin ini di Negara Belanda, karena perlu diingat bahwa pengaturan tentang hukum orang, yang termasuk di dalamnya tentang perkawinan dan anak, tidak lepas dari pengaruh hukum Belanda, yakni yang kita kenal dengan Burgelijk Wetboek (BW) atau KUHPerdata. Seperti yang diketahui bahwa, Indonesia mengikuti Hukum Belanda (asas konkordansi) sampai dengan Tahun 1945. Sesudah merdeka tersebut, maka tidak berlaku lagi asas konkordansi tersebut, atau dengan kata lain maka yang berlaku di Belanda tak berlaku di Indonesia.
Pengaturan hukum keluarga, khususnya tentang anak luar kawin, Indonesia sudah sangat tertinggal jauh dari pengaturan tentang anak luar kawin yang berlaku di Belanda. Sejak Tahun 1947 dengan diberlakukannya Kinderwet atau dikenal dengan Undang-Undang tentang Anak di Belanda, maka tanpa pengakuan dari si ibu yang melahirkan anak tersebut, demi hukum sudah ada hubungan hukum antara ibu dan anaknya.
Selanjutnya pada Tahun 1982 dengan perubahan terhadap undang-undang yang sama, terjadi perubahan pula yakni menghapuskan perbedaan antara anak luar kawin yang diakui dengan anak sah dalam hal hak-haknya dalam mewaris. Dengan kata lain antara anak luar kawin yang diakui dan anak sah, hak-haknya sama dalam mewaris. Perubahan terhadap hal mewaris juga terjadi di Belanda, yakni dengan adanya perubahan terhadap Burgelijk Wetboek (BW) yang dikenal dengan Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) yakni pada Tahun 1998. Perubahan yang dimaksudkan adalah, bahwa dalam hal mewaris dalam keluarga, suami atau istri, atau pasangan yang hidup terlama dan pasangan yang terdaftar oleh pejabat yang berwenang (geregioturd partnerschap) saling mewaris. Pasangan dalam hal ini adalah baik itu antara pasangan sejenis (wanita dengan wanita, atau pria dengan pria), asalkan perkawinannya terdaftar. Di mana warisan jatuh lebih dahulu kepada pasangan yang hidup terlama tersebut.
Hak tuntut anak baru akan muncul setelah kedua pasangan tersebut meninggal. Misalnya A dan H adalah pasangan suami istri, yang memiliki anak sah X, dan anak luar kawin K. Jika A meninggal dunia, maka B, yang adalah istrinya memperoleh harta dari A secara utuh. X dan K baru akan mendapatkan hak mereka sebagai anak setelah B meninggal dunia. X dan K walaupun dalam hal ini memiliki status yang berbeda, yakni anak sah dan anak luar kawin, mereka tetap mendapatkan bagian yang sama menurut Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW).
Implikasi putusan Mahkamah Konstituri tentang anak luar kawin terhadap hukum perdata dan hukum waris adalah Indonesia sudah tertinggal jauh dalam pengaturan tentang anak, dalam bidang waris ini, dan sudah seharusnyalah diadakan perubahan dan penyesuaian ke arah yang lebih baik dan juga tidak melanggar hukum-hukum lain yang berlaku di Indonesia. Perubahan yang dapat diikuti oleh Indonesia dalam hal bidang hukum keluarga tidak dapat mengikuti dalam segala aspek yang diubah dan berlaku di negara Belanda saat ini, seperti misalnya meningalkan adanya perkawinan antara pasangan sejenis, paling tidak perubahan yang dimaksudkan adalah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada masa sekarang ini, mengingat juga sifat dari hukum yang dinamis.
Itulah tadi penjelasan yang berhubungan dengan
definisi anak luar kawin menurut undang-undang yang berlaku. Semoga tulisan ini bisa membawa manfaat bagi para pembaca sekalian. Terima kasih