Pengakuan ini adalah suatu hal lain sifat dari pengesahan. Berkaitan dengan pengakuan anak, dapat dilihat ketentuannya dalam KUHPerdata dan pula dalamUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dengan pengakuan seorang anak itu tidak otomatis statusnya menjadi anak sah. Anak yang lahir di luar perkawinan itu, baru menjadi anak sah, jika kedua orang tuanya kemudian kawin, setelah mereka itu kedua-duanya mengakui anak itu, atau jika pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan itu sendiri. Demikian ketentuan dimuat dalam Pasal 272 KUHPerdata. Adapun cara melakukan pengakuan terhadap seorang anak dimuat dalam Pasal 281 KUHPerdata.
Pasal 281 KUHPerdata dirumuskan bahwa pengakuan terhadap anak di luar kawin dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan perkawinan. Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan itu harus dicantumkan pada margin akta kelahirannya, bila akta itu ada. Bila pengakuan anak itu dilakukan dengan akta otentik lain tiap-tiap orang yang berkepentingan berhak minta agar hal itu dicantumkan pada margin akta kelahirannya. Bagaimanapun kelalaian mencatatkan pengakuan pada margin akta kelahiran itu tidak boleh dipergunakan untuk membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui itu.
Berdasarkan Pasal 281 KUHPerdata tersebut dapat diketahui bahwa pengakuan tersebut (suka rela) dimuat dalam kata kelahiran anak yang bersangkutan, atau di dalam akta perkawinan, atau di dalam akta otentik.Pengakuan yang dilakukan seorang ayah menurut Pasal 284 KUHPerdata harus dengan persetujuan si ibu selama si ibu hidup. Dengan kata lain, apabila ayah si anak mempunyai inisiatif untuk mengakui anaknya tersebut, tetapi ibu anak tersebut tidak menyetujui hal tersebut, berarti pengakuan sebagaimana dimaksudkan tidaklah dapat dilakukan oleh laki-laki yang kemungkinan merupakan ayah biologis si anak. Pengakuan dalam akta otentik perlu ditindaklanjuti dengan melaporkan kepada kantor Catatan Sipil, di mana kelahiran anak itu dulu telah didaftarkan, dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam akta kelahiran yang bersangkutan.
Selain pengakuan secara suka rela seperti yang dibahas di atas, maka ada pula pengakuan secara terpaksa. Pengakuan karena terpaksa terjadi, kalau hakim, dalam suatu perkara gugatan kedudukan anak atas dasar persangkaan, bahwa laki-laki tertentu adalah ayah dari anak tertentu, menetapkan bahwa orang laki-laki itu adalah ayah dari anak yang bersangkutan. Hal ini perlu dikaitkan dengan Pasal 287 Ayat (2) KUHPerdata. Jadi, hakim menetapkan, bahwa orang laki-laki tertentu adalah bapak dari seorang anak tertentu. Karena didasarkan atas ketetapan pengadilan, maka pengakuan seperti itu merupakan pengakuan yang dipaksakan atau terpaksa. Kalau pengakuan itu merupakan suatu tindakan hukum, dengan mana orang menerima kedudukan sebagai ayah/ibu atas anak yang diakuinya, maka dengan pengakuan itu baru tercipta hubungan kekeluargaan antara yang mengakui dengan yang diakui dan karenanya dikatakan bersifat konstitutif.
|
Anak dan Orang tua |
Selain ketiga cara pengakuan seperti yang disebutkan di atas, masih ada satu lagi cara pengakuan anak luar kawin, seperti yang disebutkan dalam Pasal 281 Ayat (2) KUHPerdata”Pengakuan yang demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai Catatan Sipil dan dibukukan register kelahiran menurut hari penanggalannya." Pengakuan ini harus dicatat dalam lihat akta kelahiran." Redaksi Pasal menyatakan bahwa pengakuan di sini dilakukan terhadap anak, yang sudah dicatat kelahirannya sebagai anak luar kawin, di dalam register kelahiran di Kantor Catatan Sipil. Pengakuan susulan seperti ini ternyata, selain bisa dilakukan dalam suatu akta Notaris di hadapan pegawai Catatan Sipil, yang wajib membukukannya dalam register kelahiran yang berjalan, dan selanjutnya mencatat pengakuan itu dalam minuta akta kelahiran anak yang bersangkutan.
Anak luar kawin tersebut dengan pengakuan itu selanjutnya mendapatkan status sebagai anak luar kawin yang diakui. Sebelum berlanjut pada akibat dari pengakuan, maka harus diingat bahwa sesuai dengan ketentuan pada Pasal 273 KUHPerdata, maka pada asasnya undang-undang melarang pengakuan untuk anak zinah dan anak sumbang. Hal mana, undang-undang pula tetap memberikan pengecualian terhadap anak sumbang. Di mana anak sumbang tetap dapat diakui oleh orang tuanya, melalui dispensasi yang diberikan oleh presiden, tetapi dengan syarat, bahwa kedua laki-laki dan perempuan itu saling menikah. Hal tersebut dapat disimpulkan dari kata-kata dalam akta perkawinan sebagai yang tertulis dalam anak kalimat terakhir Pasal 273. Berlanjut pada akibat dari pengakuan, maka dengan demikian akibat dari pengakuan terhadap anak luar kawin adalah:
a. Lahirnya hubungan hukum dengan yang mengakuinya
b. Adanya akibat hukum yang sangat terbatas dengan keluarga pihak yang mengakuinya.
Akibat dari kelompok hukum yang pertama (a) tersebut di atas yaitu, lahirnya hubungan hukum antara yang mengakui dengan yang diakui (Pasal 280 KUHPerdata).
Adanya hubungan hukum antara yang bersangkutan dengan ayah dan ibu yang mengakuinya, membawa akibat lebih lanjut di dalam seperti:
a) Pasal 39 dan Pasal 47 KUHPerdata: keharusan minta izin kawin
b) Pasal 353 KUHPerdata: kewajiban alimentasi dari anak terhadap orang tua yang mengakuinya
c) 353 KUHPerdata: adanya hubungan perwalian dengan ayah atau ibu yang mengakuinya, yang terjadi demi hukum
d) Pasal 909 KUHPerdata: adanya hak mewaris dari anak yang diakui ayah dan ibu yang mengakuinya
e) Pasal 870 KUHPerdata: adanya hak mewaris dari ayah dan ibu yang mengakui, atas harta warisan dari anak yang diakui olehnya.
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah berdasarkan ketentuan Pasal 280 KUHPerdata, hubungan hukum itu terbatas sekali, yaitu hanya antara mereka yang mengakui dan anak yang diakui saja. Antara anak luar kawin dengan keluarga ayah atau ibu yang mengakuinya, tidak ada hubungan hukum, apa-apa. Perkecualian atas prinsip seperti itu adalah adanya akibat hukum dari pengakuan yang sangat terbatas terhadap keluarga ayah atau ibu yang mengakuinya (seperti yang disebutkan sebagai akibat hukum kelompok kedua (b) tersebut di atas), yaitu sebagai yang diatur dalam anak kalimat terakhir Pasal 872 KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 873 KUHPerdata, diketahui bahwa jika salah seorang keluarga sedarah tersebut meninggal dunia dengan tak meninggalkan sanak saudara dalam derajat yang mengizinkan pewarisan, maupun suami atau istri yang hidup terlama, maka si anak luar kawin adalah berhak untuk mengenyampingkan negara. Jika anak luar kawin tadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri yang hidup terlama, maupun bapak atau ibunya, maupun akhirnya saudara laki-laki atau perempuan atau keturunan mereka, maka warisannya adalah dengan mengenyampingkan negara, untuk diwariskan oleh para keluarga sedarah terdekat dari bapak atau ibunya yang telah mengakui diam dan sekiranya mereka berdualah yang mengakuinya, maka setengah bagian adalah untuk para keluarga sedarah terdekat yang terdapat dalam garis bapak, sedangkan setengah bagian lainnya untuk keluarga sejenis dalam garis ibu.
Pasal 873 Ayat (2) tersebut di atas berbicara tentang warisan dari keluarga sedarah dari ayah atau ibu yang telah mengakui si anak luar kawin. Kata sanak saudara dalam derajat yang mengizinkan perkawinan menunjukkan bahwa Pasal tersebut baru berlaku, kalau anggota keluarga sedarah yang sah dari si pewaris sudah tidak ada semua. Dalam kata ”keluarga sedarah" harus diperhatikan batasan derajat yang masih memungkinkan bagi seorang anggota keluarga sedarah si mati, untuk berdasarkan penggantian tempat, mewaris dari pewaris.
Pasal 831 KUHPerdata mengatur bahwa keluarga sedarah, yang dengan si meninggal bertalian keluarga dalam garis menyamping lebih dari derajat yang keenam tidak mewaris. Sebaliknya, Pasal 873 Ayat (2) KUHPerdata tersebut di atas mengatur tentang warisan dari anak luar kawin yang tidak meninggalkan keluarga sedarah yang dapat mewaris warisannya. Dalam hal demikian, maka keluarga sedarah dari ayah atau ibu anak luar kawin yang mengakuinya, berhakuntuk mewaris warisan itu dengan memberikan hak bagian yang sama kepada keluarga dalam garis bapak maupun ibu, kalau baik ayah maupun ibu si anak telah sama-sama mengakuinya. Kata-kata”dengan mengenyampingkan negara" tertuju kepada ketentuan Pasal 873 Ayat (2) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa bilamana baik keluarga sedarah, maupun si anak yang hidup terlama di antara suami istri tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara, yang mana wajib melunasi segala hutangnya, sekadar harta peninggalan mencukupi untuk itu.
Sesuai dengan uraian di atas maka Pasal 873 KUHPerdata menegaskan bahwa kedudukan negara sebagai penerima warisan ada di belakamg dari anak luar kawin atau keluarga sedarah ayah atau ibu yang mengakui, yang disebutkan di sana. Berkaitan dengan pengakuan anak ini, maka tidak boleh diabaikan pengaturan yang ada dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Terdapat jangka waktu untuk pelaporan pengakuan anak yang telah dilakukan oleh orang tua si anak, dengan pula tidak mengabaikan adanya persetujuan dari si ibu. Pengakuan yang dimaksudkan haruslah benar-benar dipastikan tidak melanggar ketentuan agama mereka yang melakukan pengakuan terhadap anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah.