Melihat fenomena globalisasi sudah tidak bisa dihindari lagi, karena
kolonialisme berwajah baru telah menyatu dengan berbagai sendi kehidupan
manusia, aspek ekonomi, politik, budaya, tatanan sosial bahkan dalam aspek
pendidikan (akhlak). Demikian, dari masyarakat industri menjadi masyarakat
yang didominasi oleh informasi, teknologi dan ilmu pengetahuan telah
berlangsung dan proses transformasi selalu meningkat, yang belum pernah
ditemui dalam sejarah manusia di era sebelumnya. Dinamika tersebut
mengalami pergeseran paradigma (shifting paradigm) dan perubahan tingkah
laku manusia yang mencerminkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan
(humanisme) dan nilai-nilai agama.
Selain itu banyak terlihat masyarakat tumbuh berkembang menjadi
dewasa dengan berbagai kepandaian dan kelebihan yang dimilikinya, akan
tetapi mereka keropos nilai-nilai keimanan yaitu diantara mereka ada yang
terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan, juga mengakibatkan ketidak adanya
ketenangan. Hal seperti ini telah menghancurkan akhlak manusia di Indonesia.
Di mana-mana sering terjadi pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerasan
dan sebagainya.
Hal ini terjadi karena akhlak pelakunya merosot, kemerosotan ini
disebabkan oleh jiwa agama (psikologi Islami) yang tidak dimiliki. Sesuai
dengan firman Allah:
Artinya: "Dan sesungguhnya kami telah sediakan untuk neraka banyak sekali
golongan jin dan manusia yang mana mereka mempunyai hati tetapi
tidak mau mengerti dengannya, mempunyai mata tetapi tidak mau
melihat dengannya, mempunyai telinga tetapi tidak mau mendengar
dengannya, mereka itu seperti binatang malah lebih sesat, mereka
ialah orang-orang yang lalai”. (Al-Araf:179).
Manusia sudah menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini dan
kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji manusia,
karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan
lingkungan hidupnya.
Manusia selain makhluk sosial juga makhluk
individual, sebagai makhluk sosial, ia membutuhkan teman untuk bergaul
(berinteraksi) dengan lainnya untuk menyatakan suka dan duka, dan
memenuhi beberapa kebutuhan lainnya yang bersifat kolektif. Sedangkan
sebagai makhluk individual, manusia membutuhkan makanan, minuman,
pakaian, tempat tinggal, keamanan baik jiwa maupun raga.
Allah telah menganugrahkan akal pikiran kepada manusia sebagai
suatu penghormatan, membebaninya pada kewajiban hukum dan memberinya
kebebasan memilih antara mengerjakan atau meninggalkan perintah Allah di
bawah kendali akal pikiran.
Selain itu Allah juga memerintahkan kepada
manusia untuk berakhlak mulia, beradab serta mengisinya dengan perangai –
perangai baik yang memiliki manfaat bagi dirinya pribadi, seperti berlaku
jujur, memelihara lidah, tidak berdusta dan sebagainya.
Jadi dari sini akhlak sangatlah urgen bagi kehidupan manusia. Urgensi
akhlak ini tidak hanya didasarkan oleh manusia dalam kehidupan pribadi,
akan tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan juga dirasakan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhlak adalah mutiara hidup
manusia yang membedakan manusia dengan makhluk hewani. Karena
manusia tanpa akhlak adalah manusia yang “membinatang” dan sangat
berbahaya.
Psikologi Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam disiplin
ilmu yang relatif muda, Psikologi Islam diharapkan dapat memberikan
kontribusi positif bagi pembentukan pribadi manusia ideal (insan kamil).
Dengan adanya peristiwa di atas, ternyata Psikologi Barat (modern) tidak bisa
memberikan jawaban secara lebih utuh terhadap problem-problem manusia
yang begitu unik. Bagi Psikologi Barat, manusia hanya diletakkan dalam
tinjauan yang bersifat egosentris, sedangkan manusia itu sendiri memiliki
rangkaian kemanusiannya yang lebih lengkap, yaitu jasad (tubuh), ruh, nafs
(jiwa) dan qalb (hati). Jika manusia hanya ditinjau dari satu sisi saja, maka
sosok manusia tidak akan pernah terpotret secara utuh.
Psikologi Islam Menurut Tokoh
Dalam perspektif Alquran (Islam), manusia adalah makhluk unik. Di
satu sisi, ia disanjung sedemikian tinggi, bahkan melebihi ketinggian malaikat
sebagai makhluk spiritual sampai mereka disuruh Tuhan untuk bersujud dan
mengakui keunggulannya. Sedangkan di sisi yang lain, ia dicerca,
direndahkan serta dihinakan, bahkan lebih hina dari binatang.
Karena keunikannya itu, berbagai disiplin ilmu pengetahuan tentang manusia
kemudian lahir. Salah satu disiplin ilmu pengetahuan tersebut adalah
psikologi. Yaitu ilmu yang melihat dan menempatkan manusia sebagai obyek
kajiannya, khususnya perilaku manusia. Bahkan, karena keunikannya itu pula,
mazhab-mazhab psikologi seperti Psikoanalisa, Behaviorisme, dan
Humanisme antroposentris tidak bisa memberikan jawaban tuntas tentang
perilaku manusia. Masing-masing mazhab hanya mampu melihat manusia dari
satu sisi pandang saja.
Oleh karena itu, kehadiran Psikologi Islam menjadi keniscayaan.
Terlepas masih pro-kontra penamaan Psikologi Islam maupun Psikologi
Islami dan sebagainya, Psikologi Islam menjadi lahan ”ijtihad intelektual”
yang tidak pernah habis. Bahwa Psikologi Islam dituduh sebagai tidak
memiliki bangunan ilmiah, itu urusan yang menuduh. Bisa karena mereka
memiliki tendensi tertentu atau mungkin belum mengkaji Islam secara lebih
mendalam. Namun, yang jelas, Psikologi Islam mendasarkan kerangka teori
dan bangunan penelitian didasarkan pada nilai-nilai Al - Quran, Hadits dan
warisan (turats) intelektual Islam masa lalu.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, kehadiran Psikologi
Islam telah menjadi mainstream baru dalam perkembangan keilmuan
psikologi dewasa ini. Posisi Psikologi Islam tidak saja bernilai The Indigenous
Psychology, tetapi juga dianggap sebagai psikologi alternatif yang menelusuri
alam syahadah (empirik) dan alam ghaib (meta-empirik), atau bisa dikatakan
memasuki alam dunia dan akhirat. Paling tidak, untuk alasan terakhir inilah,
Psikologi Islam itu eksis serta diharapkan banyak dalam membentuk kepribadian manusia sempurna yang tidak ditemukan pada mazhab psikologi
yang lain.
Embrio terlahirnya Psikologi Islam sebenarnya telah di mulai di
beberapa negara Islam. Gerakan ini berawal ketika Malik B Badri, seorang
psikolog dari sebuah negara di Afrika, menerbitkan buku The Dilema of
Moslem Psychologis pada tahun 1979. Buku yang mengkritik secara tajam
psikologi Barat ini telah mendapat sambutan yang luar biasa dan menjadi
peluang bagi bangkitnya disiplin ilmu Psikologi Islam.
Di Indonesia, gerakan ini dimulai tahun 1990-an. Gaungnya semakin keras di
awal milenium ini dengan sambutan hangat oleh intelektual muslim,
khususnya perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Islam
Indonesia, Institut Agama Islam Negeri, Universitas Muhammadiyah Solo,
UNDIP, UGM, UMM dan sebagainya. Perkembangan lebih lanjut yang patut
disyukuri adalah respon yang diberikan oleh Departemen Agama terhadap
perjuangan wacana Psikologi Islam di Indonesia. Paling tidak, Departemen
Agama pernah mengundang para pakar Psikologi Islam dan studi Islam pada
bulan Agustus 2005 di Puncak-Bogor untuk merumuskan nomenklatur
Psikologi Islam. Mereka diantaranya adalah Hanna Djumhana Bastaman,
Fuad Nashori, Abdul Mujib, Yadi Purwanto, Mulyadi Kertanegara,
Nasaruddin Umar, Netty Hartati, Zahrotun Nihayah, Mulyadi dan lainnya.
Enthin Herviana mengatakan bahwa Madzhab keempat adalah
psikologi transpersonal. Dan ini terumuskan dalam empat asumsi. Pertama,
psikologi transpersonal adalah pendekatan kepada penyembuhan dan
pertumbuhan yang melingkupi semua tingkat spektrum identitas-prapersonal,
personal, dan transpersonal. Tahap prapersonal dimulai dalam rahim sampai
usia 3-4 tahun. Pada tahap ini, kesadaran didorong oleh keinginan untuk
bertahan hidup, memperoleh perlindungan, dan merasa terikat. Tahap personal
meliputi kesadaran diri (sense of self) yang kohesif dan stabil. Sedang pada tahap transpersonal, individu menjadi pribadi yang sadar tentang
kerinduannya akan pengetahuan diri yang lebih mendalam.
Kedua, psikologi transpersonal mengakui terurainya kesadaran diri
terapis serta pandangan dunia spiritualnya sebagai hal yang utama dalam
membentuk sifat proses dan hasil terapi. Asumsi ini merupakan ciri khas
psikologi transpersonal yang mengharuskan terapis untuk memberikan
komitmen pada orientasi spiritualnya terhadap kehidupan.
Ketiga, psikologi transpersonal adalah proses kebangkitan atau
pencerahan (awakening) dari identitas mikro menuju identitas makro.
Psikologi transpersonal menganggap bahwa apa yang disebut Stanislav Grof
sebagai spiritual emergency merupakan proses spiritual yang akan
membimbing orang menuju pertumbuhan kepribadian yang lebih besar dan
fungsi yang lebih tinggi.
Dan keempat, psikologi transpersonal akan membantu proses
kebangkitan atau pencerahan (awakening) dengan menggunakan teknik-teknik
yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran personal dan
transpersonal tentang diri. Kearifan dan intuisi dibina dan dikembangkan
melalui teknik-teknik seperti meditasi, pencitraan, mimpi, dan altered state of
consciousness. Psikologi transpersonal membawa perubahan baru dalam
psikoterapi, atau yang sekarang lazim disebut sebagai intervensi spiritual
dalam psikoterapi. Doa, zikir, pertobatan, dan ritus-ritus keagamaan lainnya
telah menjadi media yang ampuh dalam membantu proses penyembuhan.
Sampai disini, psikologi transpersonal dapat dikatakan telah berhasil
mengawinkan antara kajian psikologi dan spirituialitas dari tradisi agama-
agama. Disamping itu, beberapa simposium dan pertemuan nasional telah
mencanangkan bahwa Psikologi Islam akan menjadi mazhab kelima atau
mazhab alternatif.
Fuad Nashori mempunyai beberapa alasan kenapa Psikologi Islam
pantas dijadikan sebagai mazhab kelima, pertama, Psikologi Islam
mempunyai pandangan khas tentang dimensi sentral manusia, yaitu qalbu,
kedua, Psikologi Islam dalam konteks ilmu psikologi modern mempunyai cara pandang baru tentang hubungan manusia dengan Tuhan, ketiga, Psikologi
Islam memiliki potensi menjawab tantangan problema manusia modern, dan
keempat, Psikologi Islam berperan dalam memperbaiki situasi nyata
kehidupan manusia.